Wednesday, December 22, 2010

Gairah itu terus menyiksaku

Aku tersentak bangun ketika HP ku berbunyi, sekilas kulirik jam dindingku masih menunjukkan pukul 6:00 pagi.
"Ahh.. siapa sih yang iseng banget, nelpon pagi-pagi begini", rutukku sambil kuraih HP-ku yg tergeletak di meja samping tempat tidurku.
Kulihat dilayar nomor adikku.
"Ya.. hallo.." sahutku singkat
"Halo Kakak Santy.. gimana khabarmu kak, Kak kapan mau pulang ke kampung kami sudah kangen nih..", terdengar suara adikku diujung sana.
"Ahh.. pasti kamu butuh duit lagi..", bisik hatiku.
Aku sangat tahu kalau adikku sudah menelponku begitu pasti itu tandanya dia butuh uang untuk biaya kuliahnya, aku tak menjawab pertanyaan adikku kubiarkan saja dulu dia bicara.
"Gimana Kak Santy.. halo.. halo.." suaranya agak sedikit keras, mungkin dikiranya aku tidak mendengarkan omongannya, padahal aku sangat jelas mendengarnya.
"Iya aku masih disini", jawabku singkat.
"Nantilah ratri, Kakak saat ini sedang tidak enak badan..", pintaku padanya.
Beberapa detik tidak ada jawaban darinya.
"OK deh..", suara adikku terdengar kecewa oleh keputusanku, lalu kumatikan HP-ku.

Sebenarnya badanku sedang tidak apa-apa, aku sehat-sehat saja, cuma saat ini aku lagi ingin sendiri dulu, aku tak mau ada gangguan sedikitpun, kuambil kursi duduk lalu kubuka jendela, kupandang hiruk-pikuknya kota Jakarta dipagi hari, kupandangi juga ratusan orang hilir-mudik dengan segala kesibukkannya masing-masing, lalu mataku tertuju kepada beberapa anak SMA yang sedang berdiri di halte menunggu bus yang menuju kearah sekolah mereka, lalu aku terbayang kepada kehidupan pribadiku lima tahun silam, aku masih seperti mereka polos dan begitu naf, tapi kini kehidupanku sangat jauh berbeda dari yang dulu, kini aku merasa tidak lugu dan polos lagi, aku tinggal disuatu apartemen, disinilah aku ditempatkan oleh orang yang sangat kucintai tapi tak bisa kumiliki, kata kasarnya aku menjadi simpanan disamping kegiatanku bekerja.

Ceritaku ini mungkin terkesan binal bagi pembaca semua tapi itulah adanya, kalau aku mengurangi kadar ceritanya maka nilai sensualitas yang terkandung dalam ceritaku akan terasa hambar, terserah pembaca saja menanggapinya. Sebenarnya statusku ini adalah suatu status yang sangat aku benci, tapi apa boleh buat nasib berkata lain, dengan status seperti inilah aku bisa membantu biaya sekolah kedua adik perempuanku di kampung dan membantu ekonomi keluargaku, memang pada mulanya tidak terbersit sedikitpun keinginan untuk menjadi begini, semua ini berawal dari sulitnya kehidupan ekonomi kami sepeninggal ayahku, yang meninggal dunia karena kecelakaan, untuk mengetahui lebih lanjut tentang diriku dan kehidupanku seutuhnya ada baikknya aku ceritakan saja dari awal, dari Santy yang polos dan lugu sampai menjadi Santy yang sedikit modern.

Sepeninggal ayahku, kehidupan kami begitu morat marit, tidak ada saudara yang mau membantu kami, ibuku dengan tiga anak perempuannya yang masih kecil-kecil harus berjuang sendiri mencari biaya hidup, tidak ada terbersit keinginan di hati ibu untuk kawin lagi, karena cintanya kepada ayah sangat mendalam dan suci, saya sangat bangga kepada ibu saya, untuk menyambung hidup dan sekolah kami ibuku menjadi PRT di rumah Bapak Winata, seorang juragan kayu, di kampung kami. Dia kaya raya tapi dia dan keluarga sangat baik dan murah hati kepada kami, karena saking dekatnya kehidupan antara kami dengan dia, aku dan kedua adikku diperlakukan seperti anaknya sendiri, aku selalu bermain bersama Mas Ferico anak semata wayang Bapak Winata.

Mas Ferico begitu baik denganku, sampai-sampai kalau jalan-jalan baik dalam ataupun keluar kota aku selalu diajak serta, Mas Ferico tidak mau pergi kalau saya tidak ikut. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, aku dan juga Mas Ferico tumbuh menjadi seorang remaja dewasa, Mas Ferico 7 tahun lebih tua dari saya, setelah dia menyelesaikan kuliahnya dia diterima diperusahaan minyak asing di Jakarta, karena dia anak semata wayang dikeluarganya dan orang yang paling dipercaya bisa menjaga hidup dan kehidupan Mas Ferico adalah ibu saya, maka mau tidak mau ibu saya harus ikut pindah ke Jakarta menemani Mas Ferico, untuk mengurus segala keperluannya. Aku dan kedua adikku tetap tinggal dirumah peninggalan ayahku yang sangat kecil dan sempit.

Ibuku selalu mengirim uang buat keperluan kami setiap bulan, uang kiriman yang pada mulanya cukup buat kami bertiga, kini kami rasakan tidak cukup lagi, aku dan satu adikku sudah duduk dibangku SMA sedangkan satu lagi adikku masih duduk dibangku SMP, makin hari dorongan untuk mencari tambahan biaya hidup dan membantu ekonomi keluarga makin menderaku, desakan itu semakin hari tak tertahankan, setelah tamat sekolah kuputuskan saja menyusul ibu ke Jakarta sambil mencari kerja disana, biarlah aku tidak melanjutkan ke bangku kuliah asal adik-adikku tetap sekolah, memang mencari kerja di Jakarta hanya bermodalkan ijazah SMA rasanya mustahil, tapi aku bertekad, prinsipku kita hanya mampu berusaha dan berdoa, dan Tuhanlah yang menentukan jadi jangan menyerah sebelum bertanding.

"Tok.. tok.. tok..".
Pintu sebuah rumah mewah di kumpulan rumah-rumah mewah di Jakarta aku ketuk, aku berharap yang membuka pintu adalah ibuku, aku siap-siap akan mengejutkan ibuku, beberapa menit kemudian pintu pelan-pelan terbuka dari balik pintu muncul sosok seorang gagah, tampan sekali berbadan tinggi besar kira-kira 185 cm berat 90 kg, dengan alis tebal dan mata elangnya menatapku tajam lalu dia tersenyum padaku. Akupun tersenyum padanya.
"Santy.. ada apa gerangan, ayo masuk san..", sambutnya hangat.
"Kamu makin cantik saja Santy", pujinya untukku.
Aku masih terpana oleh wajahnya yang sangat tampan, tampan sekali. Bekas cukuran bulu-bulu pada wajah putihnya meninggalkan warna hijau kebiruan, sungguh kontras sekali.
"Heyy.. Santy.. ayo masuk..", ucapannya kali ini, membuyarkan lamunanku.
Aku kikuk dan malu sendiri, "Oohh.. ehh.. ya.. terima kasih", sahutku gugup.

Ibuku senang sekali melihatku, tapi dia juga sedih setelah mendengar keluhan dan keputusanku untuk meninggalkan kedua adikku untuk mencari kerja di Jakarta, setelah kujelaskan panjang lebar akhirnya ibuku mau juga mengerti. Sudah satu minggu aku dirumah mewah milik Mas Ferico, namun aku belum juga mendapatkan apa yang kucari, Mas Ferico menyarankan agar aku kuliah saja di Jakarta sembari membantu ibu, mengenai uang kuliah dia yang akan menanggungnya, karena sudah terlalu banyak budi jasanya kepada keluarga kami, maka secara halus tawaran yang dia berikan padaku aku tolak, mungkin banyak yang mengira keputusanku ini bodoh, tapi itulah adanya, aku tak mau terbelit hutang budi lebih banyak lagi kepada Mas Ferico dan keluarganya.

Pada hari kesepuluh aku berada disana, kejadian itu terjadi, kejadian yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, dimana keperawananku direnggut oleh orang yang sangat kucintai tapi tak bisa kumiliki, ceritanya begini. Pada malam minggu di televisi sedang menayangkan siaran langsung bola kaki, dimana yang tampil adalah tim-tim favorit Mas Ferico, aku sebenarnya mau juga ikut nonton tapi aku malas disamping itu aku tidak begitu suka bola kaki, jadi kuputuskan saja untuk tetap berada didalam kamarku sambil mendengar siaran radio kesayanganku, Elshinta.
"San.. tolong ambilin HP saya dong", pinta Mas Ferico dengan suara yang keras dan berat.
"Baik Mas..", jawabku singkat.
Lalu aku masuk kedalam kamar tidurnya, aku ambil HP-nya yang berbunyi, lalu aku ke ruang depan tempat dimana dia sedang nonton TV.
"Nih Mas HP nya..", kataku.
Disaat tanganku menyodorkan HPnya, tangan Mas Ferico menarik tanganku, aku kaget sekali.
"Sudah kamu duduk sinilah ngapain juga dikamar terus", sambil menarikku agar duduk disampingnya.
Aku sebenarnya mau bangkit lagi tapi tangannya yang besar dan kuat menahan bahuku tanda aku tidak boleh berdiri, aku turuti saja. Lalu dia menerima telpon dari temannya, tidak berapa lama HP nya dia tutup.

Sambil menonton siaran TV, satu tangan Mas Ferico tidak lepas dalam posisi memelukku, aku sebenarnya risih, walaupun dia sudah kuanggap abangku sendiri, kalau dulu beberapa tahun lalu sewaktu kami masih kecil segala pelukan, ciuman dan dekapan Mas Ferico tidak ada artinya bagiku, karena yang dia lakukan terhadapku kuanggap sebagai bentuk kasih sayang dari seorang Kakak kepada adiknya, tapi saat ini lain ceritanya, tangannya menyentuh sedikit saja ujung kulitku, maka hangatnya akan terasa menyebar keseluruh pembuluh darahku, entah apa ini namanya. Malam semakin merangkak dan siaran di televisi semakin seru, kulirik Mas Ferico yang kelihatan gelisah sekali, entah apa yang sedang dia fikirkan malam ini.

Selama menonton siaran bola, tangan Mas Ferico terus memelukku.
"Santy.. kau sayang sama aku kan, kau mau membahagiakan aku.. kan", bisik Mas Ferico lembut di telingaku.
"Apa maksudnya Mas..?" kataku tidak mengerti.
"Kamu tidak perlu bertanya, kamu cukup menjawab ya atau tidak, itu saja..".
Karena kupikir selama ini Mas Ferico sudah begitu baik terhadap aku dan keluarga kami, lagipula benih cinta terlarang pada Mas Ferico telah tumbuh dihatiku maka dengan spontan aku menganggukan kepala sebagai wakil dari mulutku untuk mengatakan jawaban "Ya".

Tanpa menunggu lebih lama, bibir Mas Ferico yang keras dihiasi bulu-bulu yang baru dicukur, melumat bibirku.
"Santy.. sudah lama aku menantikan hal yang demikian", bisiknya lembut ditelingaku.
Kecupan lembut dari bibirnya telah membangkitkan sesuatu rasa yang selama ini belum pernah aku rasakan, entah keberanian darimana aku mulai berani membalas lumatan bibirnya, memang kuakui dimataku selama ini Mas Ferico begitu sempurna, tapi aku malu untuk mengatakannya. Tangan Mas Ferico mulai meremas-remas bagian dadaku.
"Kita ke kamar sayang", bisik Mas Ferico lembut.

Bagai kerbau dicocok hidungnya dan bagai orang terhipnotis aku mengikuti segalanya permintaannya, sesampainya dikamar aku duduk ditepi ranjang sambil menunduk malu, kulirik Mas Ferico memutar lagu-lagu bernada romantis dari radio-tape nya.
Entah kapan dia mendekatiku tiba-tiba "Santy..", tegurannya membuatku kaget dan lebih kaget lagi ketika kulihat dia sudah berdiri dihadapanku. Dadanya berbulu lebat dari dada sampai perut begitu kekar berbentuk bidang-bidang seperti pahatan pada batu, aku gemetar ketakutan ketika melihat benda sebesar lenganku yang berwarna merah keunguan berdiri kencang dihadapanku, jalaran urat besar-besar mengukir indah di penisnya bagaikan akar pohon beringin.

"Mas aku takut Mas..", kataku lirih masih dalam posisi menunduk dan menutup muka.
"Kenapa takut sayang.. kan kita belum mencobanya", rayu Mas Ferico.
Belum sempat aku mengucapkan kata-kata, benda besar dan panjang itu ia tancapkan dimulutku.
"Heppmm..", mulutku yang kecil terisi penuh oleh benda pusakanya, hingga membuatku sesak nafas.
"Ahh.. ehkggh.. enak sekali sayang.. ehkkgg.. ohh.. ouuhk.. heeggkk..", kata-kata tak jelas arti meluncur deras dari mulut Mas Ferico.
Entah kapan aku atau Mas Ferico yang membuka bajuku, begitu kusadari tubuhku kini telah bugil tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuhku, kini kami sudah dalam keadaan berbugil ria, di baringkannya tubuhku, lalu ditindihnya, tubuhnya yang besar sangat terasa berat, membuat nafasku sesak untuk kedua kalinya, dengan buasnya Mas Ferico menghisap ujung puting bagian dadaku, aku tersentak-sentak menahan geli, lalu kepalanya turun kebawah kebagian selangkanganku, dia mulai menjilat-jilat bagian yang selama ini aku sembunyikan, dia menjilati bahkan menghisapnya kuat-kuat.
"Aghhkkhh..", lenguhku.
Sejurus kemudian diangkatnya bokongku keatas, aku yang dalam posisi tertelentang hanya bisa pasrah saja mau diapakan kemaluanku olehnya, lidahnya yang panjang dan kasar merangsak lambat memasuki bagian dalam kemaluanku, urat-urat kenikmatan yang berada di bibir luar dan dalam kemaluanku tak satupun yang luput dari jilatan lidahnya. Ahh.. rasanya aku terbang melayang..

Ahh Mas Ferico ini pasti sudah pengalaman, bisik hatiku, buktinya dia begitu mahir mengolah lahan tandus menjadi lahan yang hangat dan berair.
"Ahkgg.. sakit sekali Mas.. aduhh", rintihku ketika ada sesuatu benda sebesar kepalan tanganku mendorong paksa ingin masuk ke kemaluanku.
Aku yakin sekali benda yang mendorong-dorong itu adalah kepala penisnya Mas Ferico, rudal yang panjangnya kira-kira 20 cm lebih dan besar itu mulai menancap lurus, rasanya aku mau pingsan saja karena tak kuat menahan sakit, pedih dan perih pada bagian kemaluanku yang diakibatkan oleh dorongan benda yang pada awalnya lunak dan jinak kini menjadi keras dan garang.
"Tahan dikit San.. tahan.. nanti juga akan enak kok", bisiknya.
"Auuwww.. Sudah Mas.. sudah.. aduhh aku tak kuat Mas, sakitt..", jeritku, sembari menggigit bibirku sendiri dan mencakar-cakar punggungnya.
Namun Mas Ferico sepertinya tidak perduli, dia tetap mendorong sedikit demi sedikit bokongnya agar jalan masuk kearah surga bagi penis besarnya tak terhalangkan.
"Ahh.. uhh.. ehhk.." lenguhan Mas Ferico kian memburu seiring dengan goyangan bokongnya.
Aku begitu tersiksa malam itu, sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya kini kualami, tapi memang benar kata Mas Ferico bahwa nanti juga akan enak, kini terbukti juga, lambat namun pasti, rasa pedih dan perih yang tadi menderaku kini mulai tergantikan oleh sosok kenikmatan yang tiada tara.

Lebih kurang 20 menit berlalu tapi serangan Mas Ferico semakin gencar saja, sodokan demi sodokan terasa sekali menyentuh syaraf-syaraf kenikmatan yang ada dalam kemaluanku, hingga aku menjerit ketika suatu titik nikmat dalam kemaluanku tersentuh oleh big penisnya berulang-ulang, mungkin itulah yang dinamakan titik g-spot.
"Auuhh.. asshh..", lenguhku berbarengan dengan gerakan tubuhku yang tak beraturan ketika cairan hangatku menyemprot membasahi penis Mas Ferico.
Kulihat Mas Ferico hanya tersenyum, kupukul-pukul dadanya, tanda aku tak dapat menguasai diriku sendiri karena telah terbang terbawa kenikmatan sejati, lalu aku ditariknya agar aku duduk dipangkuannya, kini posisi kami duduk berhadapan dengan kondisi penisnya masih menancap tajam ke kemaluanku, kali ini aku benar-benar merasa ingin muntah, dorongan dan desakan yang ditimbulkan penisnya membuat isi perutku terasa terdorong keatas, aku tak berani mengambil resiko, jadi kuputuskan saja untuk tetap tenang dan tidak mengadakan gerakan sedikitpun, karena kalau aku bergerak sedikit saja maka sodokan penisnya akan terasa lebih mendorong isi perutku keatas, melihat keadaanku seperti sekarang Mas Ferico merasa kasihan juga, lalu dia mengubah style kembali.

Ternyata style kali ini adalah suatu bentuk posisi hubungan intim yang sangat nikmat, lebih terasa nikmat dari yang awal, kali ini benar-benar penisnya masih terasa padat di kemaluanku padahal aku sudah mencapai klimaks lebih dulu.
"Ahh.. eesshh.. terus san.. teruss..", perintahnya agar aku tetap menggoyang bokongku.
15 menit berlalu dan untuk kedua kalinya cairan hangatku muncrat dari asalnya, ahh.. nikmat sekali, dan kulihat kebelakang ternyata tubuh Mas Ferico pun sudah mulai mengejang. Gerakannyapun sudah tidak beraturan lagi, lalu dia mengejang.
"Ahhkk.. eeshhss..".
Terasa lava hangatnya mulai menyembur memenuhi kemaluanku, aku langsung terjerembab dikasur karena persendianku yang sedari tadi kupergunakan untuk menahan berat tubuhku sudah tak mampu lagi menahan berat badanku sendiri, begitu juga Mas Ferico. Kubiarkan saja lava hangatnya mulai mengalir keluar dari kemaluanku. Dan kamipun tertidur.

Pagi-pagi sekali aku terbangun kulihat ada noda merah pada sprei Mas Ferico.
"Ahh.. kau telah mengambilnya Mas..", bisik hatiku sedih.
Seluruh tubuhku sakit semua yang teramat sakit adalah disuatu bagian dimana sesuatu telah terjadi long injektion semalam, aku tertatih berangkat dari kasur, dengan sekuat tenaga kuusahakan bangun, kupandangi wajah tampannya sekali lagi sebelum aku keluar dari kamarnya, aku pindah ke kamarku sendiri. Karena aku takut hubungan terlarang semalam akan ketahuan ibuku, aku terbangun saat mendengar derungan mobil Mas Ferico Disaat Mas Ferico akan berangkat kerja, aku hanya mengintip dari balik jendela kamarku.

Sejak kejadian itu, maka tidak ada keraguan lagi dihati kami untuk melakukannya terus dan berulang-ulang, entah kenapa gairahku terhadapnya begitu besar, akupun sampai tak sanggup untuk mengusirnya, gairah ini begitu menyiksaku dari hari kehari. Sampai akhirnya Mas Ferico menyampaikan sebuah khabar bahwa dia akan menikah dengan gadis lain, aku tidak bisa sedih apalagi untuk menangis, aku sadar siapa diriku dan siapa dirinya, aku hanya berharap Mas Ferico mau mencintaiku terus apa adanya seperti aku mencintainya sepenuh jiwaku, untunglah Mas Ferico bukan kacang lupa akan kulitnya terhadapku, walau aku tidak menjadi istrinya namun aku tetap mendapatkan segala apa yang istrinya dapatkan dari dia, kecuali surat Nikah.

Tamat

No comments:

Post a Comment